Jumat, 20 Januari 2012

EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER SIKAP HORMAT KEPADA PARA IMAM
Belajar dari St. Fransiskus Asizi.

Add caption
Kemudian berdebar-debarlah hati Daud, karena ia telah memotong punca Saul;
lalu berkatalah ia kepada orang-orangnya: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang diurapi TUHAN."(1Sam 24:5-6)

Seperti Daud yang menghormati Saul, karena meskipun Saul sudah menjadi seorang yang jahat, namun ia adalah orang yang telah diurapi Tuhan. Kita pun wajib memberikan penghormatan yang sepantasnya diterima para imam bukan karena pribadinya yang bisa berdosa tetapi karena tahbisannya dan Ekaristi.

Dalam tulisan ini, saya bertumpu pada spiritualitas Fransiskan, sikap hormat kepada para imam sangat ditekankan. Hal ini terlihat jelas dalam berbagai tulisan Santo Fransiskus dari Assisi sendiri dan juga beberapa riwayat hidupnya (hagiografi) yang awal. Iman dan cintanya akan Ekaristi Kudus memberikan inspirasi kepada Fransiskus untuk sangat menghormati para imam, martabat imamat dan gereja-gereja. Seorang penulis riwayat hidupnya yang awal, Beato Thomas dari Celano menulis:

Ia menginginkan rasa hormat yang besar ditunjukkan bagi tangan-tangan para imam, karena kepada tangan-tangan itu diberikan secara ilahi wewenang untuk melaksanakan misteri ini. Dia sering berkata; “Seandainya aku bertemu dengan orang kudus mana saja yang datang dari surga dan pada saat yang sama bertemu dengan seorang imam miskin yang kecil, maka pertama-tama aku menunjukkan rasa hormatku kepada sang imam dan bergegas lebih cepat untuk mencium tangan-tangannya. Karena aku akan berkata kepada orang kudus itu: ‘Hai, Santo Laurensius, tunggu! Tangan imam itu dapat memegang Sabda Kehidupan, dan memiliki sesuatu yang lebih daripada sekedar hal-hal yang bersifat manusiawi!’ ” [Riwayat Hidup Kedua 201].

Sekadar sebuah catatan: Santo Laurensius (+258) adalah seorang diakon dan martir Roma.
Penulis Kisah Ketiga Sahabat (K3S) juga membuat catatan yang berkaitan dengan penghormatan istimewa Fransiskus kepada para imam seperti berikut:

Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar mereka teguh menepati Injil Suci dan anggaran dasar yang telah mereka janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan. Ia juga menghendaki bahwa para saudara secara istimewa menghormati para imam yang menangani sakramen-sakramen yang amat luhur dan terhormat. Di mana pun mereka berjumpa dengan seorang imam hendaknya mereka menundukkan kepala dan mencium tangan mereka. Ia menghendaki bahwa para saudara, jika berjumpa dengan imam yang sedang naik kuda, tidak hanya mencium tangan imam tersebut, tetapi juga kuku kuda yang mereka tunggangi oleh karena rasa hormat kepada kuasa para imam (K3S 57).

Kualitas para klerus pada zaman Fransiskus memang sangat rendah. Kaum bidaah Kathari dan Waldensi mendeklarasikan secara blak-blakan, bahwa para imam yang hidup dalam dosa telah kehilangan kuasa-imamat mereka. Dari hari ke hari gerakan-gerakan bidaah itu semakin berkembang, malah sampai menjadi ancaman bagi Gereja. Fransiskus melawan kaum bidaah ini dengan iman-kepercayaan yang tak tergoyahkan akan Firman Allah dan Ekaristi Kudus, dua hal yang dipercayakan kepada para imam.

Seorang imam Dominikan, Stefanus dari Bourbon OP (1261) membuat catatan bagaimana Fransiskus sangat menghormati para imam: Pada suatu hari, dalam perjalanannya Fransiskus melintas di daerah Lombardy. Para penduduk sebuah desa tertentu, terdiri dari klerus dan awam, Katolik dan penganut bidaah, ramai-ramai mendatanginya. Sejumlah kaum Kathari berhasil mendekati Fransiskus, kemudian menunjuk sang pastor desa seraya berkata kepada Fransiskus: “Katakanlah kepada kami, hai orang baik, bagaimana mungkin gembala jiwa ini dapat dipercayai dan dihormati, karena dia mempunyai gundik dan melakukan dosa yang diketahui orang-orang?” Apa tanggapan Fransiskus? Dia pergi menemui imam itu, berlutut di hadapannya dan mencium tangan-tangannya, lalu berkata: “Aku tidak tahu apakah tangan-tangan ini kotor atau tidak, namun demikian kuasa sakramen yang ditata-laksanakan oleh tangan-tangan ini tidak hilang karenanya. Tangan-tangan ini telah menyentuh Tuhanku. Karena rasa hormatku kepada Tuhan, maka aku menghormati wakil-Nya; bagi dirinya sendiri mungkin dia buruk; tetapi bagiku dia baik”.

Tindakan Fransiskus yang penuh hormat kepada pastor desa tersebut sepenuhnya sesuai dengan petuahnya (Pth) kepada para saudara:
Berbahagialah hamba, yang menaruh kepercayaan kepada para rohaniwan, yang hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma. Akan tetapi celakalah orang yang meremehkan mereka. Sebab sekalipun mereka itu pendosa, namun tidak seorang pun boleh menghakimi mereka, karena semata-mata Tuhanlah yang mengkhususkan mereka bagi diri-Nya untuk dihakimi.

Sebab semakin luhur tugas pelayanan mereka berkenaan dengan tubuh dan darah mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, yang mereka sambut dan hanya mereka sendiri boleh menghidangkannya kepada orang lain, maka semakin berat pulalah dosa yang dibuat orang terhadap mereka, lebih berat daripada dosa yang dibuat terhadap semua orang lainnya di dunia ini (Pth XXVI:1-4).

Tidak lama sebelum hari kematiannya, dari pembaringannya Fransiskus menyuruh tulis dalam Wasiat-nya (Was) apa yang paling berharga dalam hatinya dan paling suci di muka bumi ini:
Lalu Tuhan menganugerahkan dan masih menganugerahkan kepadaku kepercayaan yang sedemikian besar juga kepada para imam, yang hidup menurut peraturan Gereja Roma yang kudus, karena tahbisan mereka, sehingga kalaupun mereka mengejar-ngejar aku, aku tetap mau minta perlindungan pada mereka. Kalaupun aku begitu bijaksana seperti Salomo dan menjumpai imam-imam yang amat malang di dunia ini, aku tidak mau berkhotbah di paroki tempat mereka tinggal kalau mereka tidak menghendakinya. Aku menyegani mereka dan semua lainnya, mau mengasihi dan menghormati mereka sebagai tuanku. Aku tidak mau tahu tentang dosa di dalam diri mereka sebab di dalam diri mereka aku dengan jelas melihat Putera Allah, dan mereka itu adalah tuanku. Aku berbuat demikian karena di dunia ini aku sekali-kali tidak melihat Putera Allah Yang Mahatinggi itu secara jasmaniah, selain tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang mereka sambut dan yang hanya mereka sendiri boleh menghidangkan-Nya kepada orang lain. Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang berharga (Was 6-11).

Apa yang menjadi alasan atau motif Fransiskus? Dalam “Surat Kedua kepada Kaum Beriman” (2SurBerim), Fransiskus menulis: “Kita ……… harus menaruh rasa hormat dan takzim kepada para rohaniwan; bukan pertama-tama karena orangnya sendiri – sebab bisa jadi mereka itu pendosa – tetapi karena tugas dan pelayanan tubuh dan darah Kristus Yang Mahakudus, yang mereka kurbankan di altar dan mereka sambut serta mereka bagikan kepada orang-orang lain (2SurBerim 33). Karena hanya para imam sajalah yang dapat menerima misteri Ekaristi ini dalam tangan-tangan mereka dan untuk menata-laksanakannya, maka Fransiskus sangat menghormati mereka. Jadi dapat dikatakan, bahwa penghormatan Fransiskus kepada para imam adalah semacam “derivatif” daripada penghormatannya terhadap Ekaristi Kudus. Dengan demikian, Ekaristi Kudus adalah sumber dari sikap hormat Fransiskus terhadap para imam.

CATATAN PENUTUP
Fransiskus dari Assisi bukanlah seorang imam. Ia adalah seorang diakon. Sebagai umat kebanyakan, kita semua dapat meneladan apa yang telah ditunjukkan oleh orang kudus ini selama hidupnya di dunia. Seorang imam janganlah sampai disanjung-sanjung hanya karena khotbah-khotbahnya yang bagus, penuh humor, berasal dari etnis yang sama dan lain sebagainya. Semua imam harus dihormati, dikasihi, didukung, justru karena anugerah istimewa yang diberikan Tuhan kepada mereka: “hanya oleh tangan merekalah roti dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah Kristus”. Seperti dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di atas, konsekrasi dalam Kurban Ekaristi hanya dimungkinkan karena adanya Sakramen Tahbisan Imam. Perintah Yesus bagi kita semua para murid-Nya untuk merayakan Ekaristi, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” [1Kor 11:24-25; bdk Luk 22:19], tidak akan terwujud sepanjang sejarah manusia kalau tidak ada para imam. Di sisi lain umat juga harus realistis dan penuh pengertian, karena seorang imam juga bukan seorang superman. Dia juga seorang manusia biasa dengan segala kelemahannya, di samping kekuatan-kekuatan yang dimilikinya, artinya dia juga dapat berpikir salah, bersikap salah dan berperilaku salah dalam situasi tertentu.

Penghormatan kepada para imam yang didasarkan pada motif Ekaristi seperti diuraikan di atas tidak akan berakibat buruk dalam bentuk kultus-individu yang sangat tidak diinginkan, terutama dalam kehidupan sebuah paroki. Penghormatan yang bermotifkan Ekaristi tidak akan menghalangi seseorang untuk berani misalnya melontarkan kritik-positifnya terhadap pastor parokinya, seandainya terdapat sesuatu yang perlu dikoreksi dalam pelaksanaan salah satu atau beberapa aspek fungsi penggembalaan pastor paroki tersebut. Ia tidak akan merasa takut. Mengapa? Karena bagi orang itu, di belakang sang pastor paroki ada figur yang jauh lebih besar dan agung: Kristus sendiri!

Cilandak, 22 Juni 2009
Peringatan dua martir Inggris: S. John Fisher, Uskup & S. Thomas More, negarawan/ Fransiskan sekular.

*) Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.
(Tulisan saya edit agar bisa sesuai untuk dibaca fan Katolik yang umum)

Salam
Source: https://www.facebook.com/imankatolik/posts/10150543334912348

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar