EKARISTI KUDUS SEBAGAI SUMBER SIKAP HORMAT KEPADA PARA IMAM
Belajar dari St. Fransiskus Asizi.
|
Add caption |
Kemudian berdebar-debarlah hati Daud, karena ia telah memotong punca Saul;
lalu berkatalah ia kepada orang-orangnya: "Dijauhkan Tuhanlah kiranya
dari padaku untuk melakukan hal yang demikian kepada tuanku, kepada
orang yang diurapi TUHAN, yakni menjamah dia, sebab dialah orang yang
diurapi TUHAN."(1Sam 24:5-6)
Seperti Daud yang menghormati
Saul, karena meskipun Saul sudah menjadi seorang yang jahat, namun ia
adalah orang yang telah diurapi Tuhan. Kita pun wajib memberikan
penghormatan yang sepantasnya diterima para imam bukan karena pribadinya
yang bisa berdosa tetapi karena tahbisannya dan Ekaristi.
Dalam tulisan ini, saya bertumpu pada spiritualitas Fransiskan, sikap
hormat kepada para imam sangat ditekankan. Hal ini terlihat jelas dalam
berbagai tulisan Santo Fransiskus dari Assisi sendiri dan juga beberapa
riwayat hidupnya (hagiografi) yang awal. Iman dan cintanya akan Ekaristi
Kudus memberikan inspirasi kepada Fransiskus untuk sangat menghormati
para imam, martabat imamat dan gereja-gereja. Seorang penulis riwayat
hidupnya yang awal, Beato Thomas dari Celano menulis:
Ia
menginginkan rasa hormat yang besar ditunjukkan bagi tangan-tangan para
imam, karena kepada tangan-tangan itu diberikan secara ilahi wewenang
untuk melaksanakan misteri ini. Dia sering berkata; “Seandainya aku
bertemu dengan orang kudus mana saja yang datang dari surga dan pada
saat yang sama bertemu dengan seorang imam miskin yang kecil, maka
pertama-tama aku menunjukkan rasa hormatku kepada sang imam dan bergegas
lebih cepat untuk mencium tangan-tangannya. Karena aku akan berkata
kepada orang kudus itu: ‘Hai, Santo Laurensius, tunggu! Tangan imam itu
dapat memegang Sabda Kehidupan, dan memiliki sesuatu yang lebih
daripada sekedar hal-hal yang bersifat manusiawi!’ ” [Riwayat Hidup
Kedua 201].
Sekadar sebuah catatan: Santo Laurensius (+258) adalah seorang diakon dan martir Roma.
Penulis Kisah Ketiga Sahabat (K3S) juga membuat catatan yang berkaitan
dengan penghormatan istimewa Fransiskus kepada para imam seperti
berikut:
Fransiskus dengan cermat mengajak para saudara, agar
mereka teguh menepati Injil Suci dan anggaran dasar yang telah mereka
janjikan, khususnya mereka mesti menaruh rasa hormat dan berkhidmat
kepada ibadah ilahi dan peraturan gerejawi, mendengar Misa, dan dengan
amat khusyuknya menyembah Tubuh Tuhan. Ia juga menghendaki bahwa para
saudara secara istimewa menghormati para imam yang menangani
sakramen-sakramen yang amat luhur dan terhormat. Di mana pun mereka
berjumpa dengan seorang imam hendaknya mereka menundukkan kepala dan
mencium tangan mereka. Ia menghendaki bahwa para saudara, jika berjumpa
dengan imam yang sedang naik kuda, tidak hanya mencium tangan imam
tersebut, tetapi juga kuku kuda yang mereka tunggangi oleh karena rasa
hormat kepada kuasa para imam (K3S 57).
Kualitas para klerus
pada zaman Fransiskus memang sangat rendah. Kaum bidaah Kathari dan
Waldensi mendeklarasikan secara blak-blakan, bahwa para imam yang hidup
dalam dosa telah kehilangan kuasa-imamat mereka. Dari hari ke hari
gerakan-gerakan bidaah itu semakin berkembang, malah sampai menjadi
ancaman bagi Gereja. Fransiskus melawan kaum bidaah ini dengan
iman-kepercayaan yang tak tergoyahkan akan Firman Allah dan Ekaristi
Kudus, dua hal yang dipercayakan kepada para imam.
Seorang imam
Dominikan, Stefanus dari Bourbon OP (1261) membuat catatan bagaimana
Fransiskus sangat menghormati para imam: Pada suatu hari, dalam
perjalanannya Fransiskus melintas di daerah Lombardy. Para penduduk
sebuah desa tertentu, terdiri dari klerus dan awam, Katolik dan penganut
bidaah, ramai-ramai mendatanginya. Sejumlah kaum Kathari berhasil
mendekati Fransiskus, kemudian menunjuk sang pastor desa seraya berkata
kepada Fransiskus: “Katakanlah kepada kami, hai orang baik, bagaimana
mungkin gembala jiwa ini dapat dipercayai dan dihormati, karena dia
mempunyai gundik dan melakukan dosa yang diketahui orang-orang?” Apa
tanggapan Fransiskus? Dia pergi menemui imam itu, berlutut di hadapannya
dan mencium tangan-tangannya, lalu berkata: “Aku tidak tahu apakah
tangan-tangan ini kotor atau tidak, namun demikian kuasa sakramen yang
ditata-laksanakan oleh tangan-tangan ini tidak hilang karenanya.
Tangan-tangan ini telah menyentuh Tuhanku. Karena rasa hormatku kepada
Tuhan, maka aku menghormati wakil-Nya; bagi dirinya sendiri mungkin dia
buruk; tetapi bagiku dia baik”.
Tindakan Fransiskus yang penuh hormat kepada pastor desa tersebut sepenuhnya sesuai dengan petuahnya (Pth) kepada para saudara:
Berbahagialah hamba, yang menaruh kepercayaan kepada para rohaniwan,
yang hidup tepat menurut peraturan Gereja Roma. Akan tetapi celakalah
orang yang meremehkan mereka. Sebab sekalipun mereka itu pendosa, namun
tidak seorang pun boleh menghakimi mereka, karena semata-mata Tuhanlah
yang mengkhususkan mereka bagi diri-Nya untuk dihakimi.
Sebab
semakin luhur tugas pelayanan mereka berkenaan dengan tubuh dan darah
mahakudus Tuhan kita Yesus Kristus, yang mereka sambut dan hanya mereka
sendiri boleh menghidangkannya kepada orang lain, maka semakin berat
pulalah dosa yang dibuat orang terhadap mereka, lebih berat daripada
dosa yang dibuat terhadap semua orang lainnya di dunia ini (Pth
XXVI:1-4).
Tidak lama sebelum hari kematiannya, dari
pembaringannya Fransiskus menyuruh tulis dalam Wasiat-nya (Was) apa yang
paling berharga dalam hatinya dan paling suci di muka bumi ini:
Lalu Tuhan menganugerahkan dan masih menganugerahkan kepadaku
kepercayaan yang sedemikian besar juga kepada para imam, yang hidup
menurut peraturan Gereja Roma yang kudus, karena tahbisan mereka,
sehingga kalaupun mereka mengejar-ngejar aku, aku tetap mau minta
perlindungan pada mereka. Kalaupun aku begitu bijaksana seperti Salomo
dan menjumpai imam-imam yang amat malang di dunia ini, aku tidak mau
berkhotbah di paroki tempat mereka tinggal kalau mereka tidak
menghendakinya. Aku menyegani mereka dan semua lainnya, mau mengasihi
dan menghormati mereka sebagai tuanku. Aku tidak mau tahu tentang dosa
di dalam diri mereka sebab di dalam diri mereka aku dengan jelas melihat
Putera Allah, dan mereka itu adalah tuanku. Aku berbuat demikian karena
di dunia ini aku sekali-kali tidak melihat Putera Allah Yang Mahatinggi
itu secara jasmaniah, selain tubuh dan darah-Nya yang mahakudus, yang
mereka sambut dan yang hanya mereka sendiri boleh menghidangkan-Nya
kepada orang lain. Aku menghendaki, agar misteri yang mahakudus itu
dihormati melampaui segala-galanya, disembah dan disimpan di tempat yang
berharga (Was 6-11).
Apa yang menjadi alasan atau motif
Fransiskus? Dalam “Surat Kedua kepada Kaum Beriman” (2SurBerim),
Fransiskus menulis: “Kita ……… harus menaruh rasa hormat dan takzim
kepada para rohaniwan; bukan pertama-tama karena orangnya sendiri –
sebab bisa jadi mereka itu pendosa – tetapi karena tugas dan pelayanan
tubuh dan darah Kristus Yang Mahakudus, yang mereka kurbankan di altar
dan mereka sambut serta mereka bagikan kepada orang-orang lain
(2SurBerim 33). Karena hanya para imam sajalah yang dapat menerima
misteri Ekaristi ini dalam tangan-tangan mereka dan untuk
menata-laksanakannya, maka Fransiskus sangat menghormati mereka. Jadi
dapat dikatakan, bahwa penghormatan Fransiskus kepada para imam adalah
semacam “derivatif” daripada penghormatannya terhadap Ekaristi Kudus.
Dengan demikian, Ekaristi Kudus adalah sumber dari sikap hormat
Fransiskus terhadap para imam.
CATATAN PENUTUP
Fransiskus
dari Assisi bukanlah seorang imam. Ia adalah seorang diakon. Sebagai
umat kebanyakan, kita semua dapat meneladan apa yang telah ditunjukkan
oleh orang kudus ini selama hidupnya di dunia. Seorang imam janganlah
sampai disanjung-sanjung hanya karena khotbah-khotbahnya yang bagus,
penuh humor, berasal dari etnis yang sama dan lain sebagainya. Semua
imam harus dihormati, dikasihi, didukung, justru karena anugerah
istimewa yang diberikan Tuhan kepada mereka: “hanya oleh tangan
merekalah roti dan anggur diubah menjadi tubuh dan darah Kristus”.
Seperti dikatakan oleh Paus Yohanes Paulus II di atas, konsekrasi dalam
Kurban Ekaristi hanya dimungkinkan karena adanya Sakramen Tahbisan Imam.
Perintah Yesus bagi kita semua para murid-Nya untuk merayakan Ekaristi,
“Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” [1Kor 11:24-25; bdk Luk
22:19], tidak akan terwujud sepanjang sejarah manusia kalau tidak ada
para imam. Di sisi lain umat juga harus realistis dan penuh pengertian,
karena seorang imam juga bukan seorang superman. Dia juga seorang
manusia biasa dengan segala kelemahannya, di samping kekuatan-kekuatan
yang dimilikinya, artinya dia juga dapat berpikir salah, bersikap salah
dan berperilaku salah dalam situasi tertentu.
Penghormatan
kepada para imam yang didasarkan pada motif Ekaristi seperti diuraikan
di atas tidak akan berakibat buruk dalam bentuk kultus-individu yang
sangat tidak diinginkan, terutama dalam kehidupan sebuah paroki.
Penghormatan yang bermotifkan Ekaristi tidak akan menghalangi seseorang
untuk berani misalnya melontarkan kritik-positifnya terhadap pastor
parokinya, seandainya terdapat sesuatu yang perlu dikoreksi dalam
pelaksanaan salah satu atau beberapa aspek fungsi penggembalaan pastor
paroki tersebut. Ia tidak akan merasa takut. Mengapa? Karena bagi orang
itu, di belakang sang pastor paroki ada figur yang jauh lebih besar dan
agung: Kristus sendiri!
Cilandak, 22 Juni 2009
Peringatan dua martir Inggris: S. John Fisher, Uskup & S. Thomas More, negarawan/ Fransiskan sekular.
*) Seorang Fransiskan sekular, tinggal di Cilandak, Jakarta Selatan.
(Tulisan saya edit agar bisa sesuai untuk dibaca fan Katolik yang umum)
Salam
Source: https://www.facebook.com/imankatolik/posts/10150543334912348
Tidak ada komentar:
Posting Komentar